7 Fakta Menarik Tren Performative Men di TikTok yang Sedang Viral 2025

7 Fakta Menarik Tren Performative Men di TikTok yang Sedang Viral 2025

Tren Performative Men di TikTok kembali menjadi perbincangan hangat di pertengahan 2025. Fenomena ini merujuk pada pria yang menampilkan citra estetik, sensitif, dan intelektual dalam video mereka—seringkali terlihat membaca buku sastra, duduk di coffee shop dengan latte art, atau menyeduh matcha di dapur minimalis. Tapi apakah ini murni ekspresi diri, atau hanya bagian dari strategi performatif demi popularitas digital?

Fenomena ini memicu diskusi luas di kalangan pengguna media sosial, khususnya TikTok dan Instagram. Di bawah ini adalah 7 fakta menarik seputar tren yang sedang naik daun ini.

1. Apa Itu Tren Performative Men di TikTok?

Tren Performative Men di TikTok mengacu pada representasi pria yang terlihat ‘lembut’, intelektual, dan memiliki estetika tertentu dalam kehidupannya—sering kali tampil sambil membaca buku filsafat, meminum teh hijau Jepang (matcha), atau mendengarkan musik jazz klasik. Mereka biasanya mengunggah video yang seolah natural namun sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa agar terlihat menarik secara visual dan emosional.

Fenomena ini menyoroti bagaimana media sosial, khususnya TikTok, mendorong seseorang untuk membentuk citra yang estetis dan ideal demi engagement dan validasi dari penonton.

2. Viral di Kalangan Gen Z dan Milenial

Gen Z dan milenial menjadi audiens utama yang mempopulerkan tren ini. Banyak dari mereka menganggap performative men sebagai bentuk maskulinitas baru yang tidak lagi keras atau agresif. Sebaliknya, pria yang menampilkan sisi emosional, penuh estetika, dan reflektif dianggap lebih menarik dan relevan dengan era sekarang.

Namun, tidak sedikit juga yang mengkritik tren ini sebagai bentuk “softboy performatif”—yakni ketika pria hanya menampilkan kelembutan sebagai alat manipulasi atau demi citra diri semata.

3. Konten yang Dibuat Terlihat Autentik, Tapi Sebenarnya Terencana

Video-video dalam tren performative men di TikTok kerap menampilkan aktivitas yang tampak sederhana: membaca buku, menyeduh kopi, menikmati matahari pagi. Tapi di balik kesan santai itu, banyak yang sebenarnya sudah direncanakan matang: dari pencahayaan, sudut pengambilan gambar, hingga narasi yang disusun agar mengundang simpati atau kekaguman.

Baca Juga : 6 Gaya Luna Maya Saat Resepsi di Jakarta yang Glamor dan Bikin Terpukau

Banyak kreator bahkan mengaku membutuhkan waktu berjam-jam untuk menghasilkan satu video berdurasi 30 detik demi mencapai “vibes” yang diinginkan.

4. Kritik: Autentisitas yang Dipertanyakan

Tren ini juga mendapat kritik karena dianggap menciptakan standar baru tentang “pria ideal” yang tidak realistis. Alih-alih membebaskan pria dari ekspektasi maskulinitas lama, tren ini justru menciptakan tekanan baru agar pria harus terlihat “lembut” dan “estetik” untuk diterima.
7 Lagu Viral TikTok 2025, Masuk FYP Terus | IDN Times

Para kritikus menyebut ini sebagai bentuk performativitas yang berbahaya karena bisa menjebak individu dalam tuntutan sosial media tanpa ruang untuk menjadi diri sendiri secara jujur.

5. Hubungan dengan Budaya Konsumsi

Matcha berkualitas, buku filsafat klasik, dan outfit minimalis bukan hanya menjadi simbol gaya hidup, tetapi juga bagian dari konsumsi visual yang dijual di media sosial. Tren performative men sangat terkait dengan kapitalisme gaya hidup, di mana semua hal—bahkan emosi dan kebiasaan membaca—diubah menjadi konten dan komoditas.

Beberapa brand bahkan mulai menggaet figur-figur pria estetik ini sebagai influencer untuk memasarkan produk mereka.

6. Perspektif Psikologis: Ingin Diterima Lewat Citra

Dari sudut pandang psikologis, tren ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan akan penerimaan sosial. Media sosial menciptakan arena baru di mana citra diri menjadi alat utama untuk mendapat validasi. Pria yang mengadopsi gaya performative men di TikTok kemungkinan ingin menunjukkan bahwa mereka bisa peka, intelektual, dan estetis—sesuatu yang dulunya tidak identik dengan maskulinitas.

Namun ketika citra ini dibentuk hanya demi konten, hal tersebut bisa berujung pada krisis identitas dan tekanan emosional.

7. Perlukah Kita Khawatir?

Sebagaimana tren lainnya, tren performative men di TikTok membawa sisi positif dan negatif. Di satu sisi, ia membuka ruang baru bagi pria untuk mengekspresikan sisi lembut mereka. Tapi di sisi lain, jika tren ini hanya menjadi alat untuk pencitraan tanpa ketulusan, maka ini hanya menciptakan performa kosong.

Yang penting adalah kesadaran diri. Tidak semua yang estetik harus dipertontonkan demi likes. Dan tidak semua kelembutan perlu dipertontonkan agar dianggap baik.

Kesimpulan

Tren Performative Men di TikTok adalah refleksi zaman: ketika estetika, identitas, dan eksistensi menjadi bagian dari strategi konten. Kita sedang hidup di era di mana citra diri bisa dirancang dan dijual seperti produk. Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial untuk tetap kritis dan otentik, serta menyadari bahwa ekspresi diri sejati tidak perlu selalu tampil sempurna di layar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *