Apartemen di Jakarta seharusnya menjadi solusi hunian modern di tengah keterbatasan lahan dan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal perkotaan. Namun, hingga kini, apartemen di Jakarta belum juga menjadi primadona di mata masyarakat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah tren ini bisa menghambat pengembangan kawasan berbasis Transit Oriented Development (TOD) yang tengah digencarkan pemerintah?
1. Apartemen di Jakarta Masih Didominasi Investor, Bukan Penghuni Aktif
Salah satu alasan utama mengapa apartemen di Jakarta belum menjadi pilihan utama adalah karena sebagian besar unit masih dimiliki oleh investor, bukan pengguna langsung. Banyak apartemen dibeli untuk investasi jangka panjang atau sekadar dijadikan aset, bukan sebagai tempat tinggal.
Akibatnya, tingkat hunian nyata (occupancy rate) masih rendah, meskipun data penjualan terlihat cukup tinggi. Kondisi ini membuat pasar apartemen di Jakarta stagnan—proyek banyak, tapi penghuninya sedikit.
Menurut sejumlah pengamat properti, fenomena ini menunjukkan bahwa pasar apartemen di Jakarta belum matang. Konsumen masih menilai harga tidak sebanding dengan manfaat, terutama jika dibandingkan dengan rumah tapak di daerah penyangga seperti Bekasi, Tangerang, dan Depok.
2. Harga Apartemen di Jakarta Tidak Ramah bagi Kelas Menengah
Harga menjadi faktor paling krusial dalam menentukan minat masyarakat. Apartemen di Jakarta umumnya dibanderol dengan harga yang jauh dari jangkauan kelas menengah.
Misalnya, harga rata-rata apartemen di kawasan Jakarta Selatan mencapai Rp35–45 juta per meter persegi. Dengan ukuran standar 40 meter persegi, artinya harga unit bisa mencapai lebih dari Rp1,5 miliar. Sementara itu, penghasilan rata-rata keluarga kelas menengah belum mampu mencicil properti dengan nilai sebesar itu.
Program low cost apartment atau rusunami yang diharapkan menjadi solusi pun belum banyak tersedia di pusat kota. Akibatnya, masyarakat lebih memilih membeli rumah di pinggiran, meski harus menempuh perjalanan panjang ke tempat kerja.
3. Gaya Hidup dan Budaya Masyarakat Masih Melekat pada Rumah Tapak
Selain persoalan harga, faktor budaya juga memainkan peran penting. Banyak masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, masih memandang rumah tapak sebagai simbol kesuksesan dan stabilitas keluarga.
Tinggal di apartemen dianggap kurang ideal untuk keluarga besar atau mereka yang menginginkan privasi lebih. Selain itu, keterbatasan ruang menjadi kendala bagi banyak orang yang terbiasa dengan halaman, garasi, dan ruang tamu luas.
Hingga kini, hanya kalangan muda profesional dan ekspatriat yang cenderung nyaman tinggal di apartemen di Jakarta. Namun segmen pasar ini masih terbatas dan tidak cukup kuat untuk mendongkrak tingkat hunian secara signifikan.
4. Lokasi Apartemen Tidak Selalu Strategis dan Terintegrasi TOD
Konsep Transit Oriented Development (TOD) di Jakarta diharapkan mampu memadukan hunian dengan akses transportasi publik seperti MRT, LRT, dan KRL. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.
Banyak proyek apartemen yang diklaim dekat dengan transportasi umum ternyata masih berjarak cukup jauh dari stasiun atau halte utama. Integrasi antar moda transportasi pun belum maksimal.
Sebagai contoh, beberapa proyek apartemen di sekitar stasiun MRT masih menghadapi kendala konektivitas jalan dan fasilitas pendukung. Padahal, konsep TOD seharusnya memudahkan mobilitas penghuni tanpa perlu bergantung pada kendaraan pribadi.
Ketika konektivitas belum terjamin, daya tarik apartemen di Jakarta otomatis menurun. Masyarakat lebih memilih lokasi yang benar-benar praktis dan sesuai dengan gaya hidup mobilitas tinggi.
5. Kelebihan Pasokan dan Perlambatan Penyerapan Pasar
Fenomena oversupply juga menjadi penyebab lain mengapa apartemen di Jakarta belum jadi primadona. Dalam satu dekade terakhir, pengembang berlomba membangun proyek apartemen baru, terutama di kawasan strategis seperti Sudirman, Thamrin, dan Kuningan.
Namun, permintaan tidak tumbuh secepat penawaran. Akibatnya, banyak unit yang kosong atau dijual kembali dengan harga diskon.
Data dari sejumlah konsultan properti menunjukkan bahwa tingkat penyerapan pasar untuk apartemen di Jakarta berada di kisaran 80%, sementara pertumbuhan pasokan mencapai 110% dalam lima tahun terakhir. Ketidakseimbangan ini menyebabkan harga cenderung stagnan bahkan turun di beberapa wilayah.
Dampak Terhadap Proyek TOD Jakarta
Rendahnya minat masyarakat terhadap apartemen di Jakarta berpotensi menghambat proyek TOD. Padahal, TOD dirancang untuk menciptakan kawasan yang efisien, ramah lingkungan, dan berorientasi pada transportasi publik.
Jika apartemen yang menjadi elemen utama TOD tidak diminati, maka konsep integrasi kota berkelanjutan sulit terwujud.Baca juga : 4 Rumah Termahal di Indonesia 2025: Kisah & Harga Rumah Termahal di Indonesia
Beberapa proyek seperti di kawasan Dukuh Atas, Fatmawati, dan Lebak Bulus menunjukkan kemajuan infrastruktur, tetapi tingkat okupansi apartemen di sekitarnya belum sejalan dengan ekspektasi. Pemerintah dan pengembang perlu mencari cara agar hunian vertikal lebih menarik bagi masyarakat urban.
Solusi Agar Apartemen di Jakarta Jadi Primadona

Untuk menjadikan apartemen di Jakarta sebagai pilihan utama, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:
1. Meningkatkan Keterjangkauan Harga
Pemerintah dapat memperluas insentif pajak dan program pembiayaan ringan untuk pembelian apartemen pertama. Kolaborasi antara BUMN, swasta, dan lembaga keuangan juga penting untuk menciptakan skema kepemilikan yang lebih fleksibel.
2. Optimalisasi Konsep TOD yang Terpadu
TOD tidak hanya soal membangun dekat stasiun, tetapi juga memastikan integrasi antar moda, fasilitas pejalan kaki, dan ruang publik.
Jika penghuni bisa menjangkau kantor, pusat belanja, dan transportasi hanya dengan berjalan kaki atau naik MRT, maka minat terhadap apartemen akan meningkat.
3. Meningkatkan Kualitas Fasilitas dan Lingkungan
Fasilitas seperti keamanan, kebersihan, area hijau, dan manajemen gedung harus ditingkatkan. Banyak calon pembeli menilai apartemen di Jakarta masih kalah nyaman dibandingkan dengan rumah tapak karena kurangnya area hijau dan ruang sosial.
4. Edukasi Gaya Hidup Urban
Perubahan budaya butuh waktu. Pemerintah dan pengembang bisa melakukan kampanye yang menekankan efisiensi dan kenyamanan tinggal di apartemen.
Jika masyarakat mulai melihat apartemen sebagai gaya hidup praktis dan modern, bukan sekadar pilihan terpaksa, pasar akan berkembang secara alami.
5. Pengendalian Pasokan oleh Pemerintah
Pemerintah daerah perlu mengatur kembali izin pembangunan apartemen agar sesuai dengan kebutuhan pasar. Jika pasokan terkendali, harga akan stabil dan minat masyarakat bisa tumbuh lebih sehat.
Kesimpulan: Masa Depan Apartemen di Jakarta dan Proyek TOD
Apartemen di Jakarta memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung pengembangan kota modern. Namun, berbagai kendala seperti harga tinggi, budaya rumah tapak, dan belum optimalnya konsep TOD membuat pasar apartemen belum mencapai puncaknya.
Jika seluruh pemangku kepentingan mampu berkolaborasi — pemerintah, pengembang, dan masyarakat — maka era baru hunian vertikal di Jakarta bisa dimulai.
Transformasi menuju kota yang efisien dan berkelanjutan tidak akan berhasil tanpa peran aktif masyarakat dalam mengadopsi gaya hidup urban yang lebih dinamis. Dengan strategi tepat, bukan tidak mungkin apartemen di Jakarta akan menjadi primadona baru dan mendukung suksesnya proyek TOD di masa depan.