Hunian di Indonesia selalu menjadi topik krusial dalam perencanaan pembangunan nasional. Meski berbagai program telah dicanangkan pemerintah, masalah krisis perumahan tidak kunjung terselesaikan. Data Kementerian PUPR dan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan masih ada 9,9 juta orang di Indonesia yang belum memiliki rumah layak huni.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di saat banyak apartemen megah di kota besar justru dibiarkan kosong. Fenomena tersebut dikenal sebagai ghost buildings, gedung hunian yang dibangun tetapi tidak berpenghuni karena harga yang tidak sesuai daya beli masyarakat.
Paradoks ini menegaskan bahwa hunian di Indonesia menghadapi persoalan struktural yang mendalam: antara kebutuhan rakyat dengan orientasi pasar properti yang tidak seimbang.
1.Kondisi Terkini Hunian di Indonesia
Krisis Kepemilikan Rumah
Menurut Data BPS 2024, tingkat kepemilikan rumah di Indonesia masih berkisar 80%, tetapi sebagian besar berada di pedesaan. Di perkotaan, angka kepemilikan rumah hanya sekitar 50–60%. Itu artinya hampir separuh warga kota masih bergantung pada kontrakan, kos-kosan, atau sewa apartemen.
Sementara itu, harga rumah tapak di Jakarta dan kota-kota satelit seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang sudah menembus Rp 600 juta – Rp 1,5 miliar untuk tipe sederhana. Jelas harga ini tidak terjangkau oleh mayoritas pekerja dengan gaji rata-rata Rp 5–7 juta per bulan.
Apartemen Jadi Ghost Buildings
Fenomena ghost buildings semakin mencolok di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Menurut riset Colliers International, tingkat hunian apartemen di Jakarta hanya mencapai sekitar 55–60% pada 2023. Banyak apartemen yang dibangun untuk kelas menengah atas, dijual dengan harga mulai Rp 700 juta hingga miliaran rupiah, akhirnya dibiarkan kosong.
Seorang pengamat properti, Ali Tranghanda, pernah menyebut bahwa apartemen kosong ini menjadi simbol kegagalan perencanaan tata kota. Ali mengatakan:
“Kebutuhan nyata masyarakat adalah hunian terjangkau, bukan apartemen mewah yang akhirnya hanya menjadi investasi mati.”
2.Faktor Penyebab Krisis Hunian di Indonesia
Harga Tanah dan Properti Melonjak
Harga tanah di kota besar meningkat rata-rata 10–15% per tahun, jauh melampaui kenaikan gaji pekerja yang hanya sekitar 3–5% per tahun. Hal ini membuat hunian di Indonesia menjadi barang mewah, bukan kebutuhan dasar.
Pendapatan Tidak Seimbang dengan Kebutuhan
Rata-rata UMP di Jakarta 2025 sebesar Rp 5,3 juta, sementara cicilan rumah sederhana dengan harga Rp 600 juta bisa mencapai Rp 5–6 juta per bulan. Artinya, membeli rumah hampir mustahil bagi pekerja dengan gaji UMR.
Fokus Pembangunan Apartemen Mewah
Alih-alih membangun rumah murah, banyak pengembang memilih proyek apartemen menengah atas dengan iming-iming keuntungan besar. Akibatnya, pasokan hunian tidak sesuai dengan permintaan pasar.
Rendahnya Akses Kredit Perumahan
Meski ada program KPR subsidi, banyak masyarakat tidak bisa mengaksesnya karena terbentur syarat administrasi dan keterbatasan kuota. Data Bank Indonesia menyebutkan hanya 20% pekerja formal yang bisa mengajukan KPR dengan lancar.
3.Dampak Sosial dari Krisis Hunian di Indonesia
Meningkatnya Kawasan Kumuh
Laporan Bappenas menyebutkan, luas kawasan kumuh perkotaan di Indonesia mencapai 34 ribu hektare. Banyak keluarga yang terpaksa tinggal di permukiman tidak layak huni karena tidak mampu membeli rumah.
Perubahan Pola Hidup Generasi Muda
Generasi milenial (25–40 tahun) kini lebih memilih sewa hunian dibanding membeli rumah. Sebuah survei Katadata 2023 menunjukkan 68% milenial tidak berencana membeli rumah dalam 5 tahun ke depan karena harga tidak sesuai dengan penghasilan.
Risiko Kesehatan dan Sosial
Kepadatan di kawasan kontrakan menimbulkan masalah kesehatan lingkungan. Anak-anak tumbuh tanpa ruang bermain yang layak, sementara risiko kebakaran di pemukiman padat semakin tinggi.
4.Studi Kasus Ghost Buildings di Indonesia
Jakarta: Apartemen Premium yang Kosong
Di kawasan SCBD hingga TB Simatupang, banyak apartemen premium dengan harga miliaran rupiah yang tidak laku. Dari luar tampak megah, tetapi saat malam hari jendela-jendela gelap tanpa penghuni.
Surabaya: Proyek Ambisius Berujung Sepi
Beberapa apartemen di Surabaya Barat dibangun untuk kalangan ekspatriat. Namun, karena pandemi COVID-19 dan ekonomi melemah, banyak unit tidak terjual. Kini gedung-gedung itu dikenal masyarakat sebagai apartemen kosong.
Medan: Pusat Kota Tanpa Penghuni
Medan juga menghadapi fenomena serupa. Proyek apartemen mewah yang diharapkan menarik investor justru gagal. Banyak unit hanya dibeli untuk spekulasi, tanpa ada yang benar-benar tinggal di sana.
Baca juga : 5 Tahun Mangkrak, Proyek Indonesia 1 Rp 8 Triliun Terancam Jadi Beban Baru?
5.Solusi untuk Masalah Hunian di Indonesia
Program Rumah Subsidi
Pemerintah terus menggulirkan program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dengan bunga rendah. Namun, kuota rumah subsidi baru sekitar 220 ribu unit per tahun, jauh dari kebutuhan 800 ribu unit per tahun.
Optimalisasi Hunian Vertikal
Hunian vertikal murah berbasis TOD (Transit Oriented Development) bisa menjadi solusi. Apartemen sederhana yang terintegrasi dengan transportasi publik akan lebih diminati.
Reformasi Kebijakan Tata Kota
Pemerintah perlu mengatur agar hunian di Indonesia dibangun sesuai kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengikuti logika keuntungan pengembang. Pajak progresif untuk apartemen kosong bisa menjadi salah satu solusi.
Kolaborasi Pemerintah dan Swasta
Kolaborasi antara pemerintah, pengembang, dan bank harus lebih diperkuat. Skema KPR fleksibel dengan cicilan ringan bisa membantu masyarakat mengakses rumah pertama mereka.
9. Fakta Penting tentang Hunian di Indonesia
-
9,9 juta orang belum memiliki rumah.
-
40% masyarakat kota besar masih tinggal di kontrakan.
-
Harga rumah naik lebih cepat dibanding kenaikan gaji.
-
Rata-rata apartemen kosong adalah kelas menengah atas.
-
Hunian di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
-
Generasi milenial lebih memilih sewa dibanding beli.
-
Program subsidi baru mencakup 25% dari kebutuhan riil.
-
Kawasan kumuh perkotaan semakin meluas.
-
Ghost buildings menjadi simbol kegagalan tata kelola properti.
6.Masa Depan Hunian di Indonesia
Jika masalah ini tidak segera diatasi, hunian di Indonesia akan menghadapi krisis besar pada 2045 ketika jumlah penduduk produktif mencapai puncaknya. Kebutuhan rumah bisa melonjak hingga 15 juta unit tambahan.
Pengamat perumahan, Yuswohady, menegaskan:
“Pemerintah harus memperlakukan hunian sebagai hak dasar, bukan hanya komoditas pasar. Jika tidak, ketimpangan sosial akan semakin tajam.”
Hunian bukan sekadar atap untuk berteduh, melainkan pondasi kesejahteraan keluarga. Karena itu, solusi menyeluruh dibutuhkan agar paradoks antara rumah yang tak terbeli dan apartemen kosong bisa segera berakhir.